Thursday, May 16, 2013

Grow with Character! (38/100) Series by Hermawan Kartajaya Every Business is A Service Business!


KETIKA saya menjelaskan konsep "Marketing Plus 2000" kepada Philip Kotler di Moskow pada 1998, saya sempat ditanyai tentang Service. Kenapa Service merupakan bagian dari value?


Sejak saya menulis konsep itu pada 1993, saya memang memisahkan Service dari product. Ini sama dengan brand, yang harus "keluar" dari product. Buat saya, Service punya makna yang sangat "besar". Bukan sekadar after sales-service yang sering menjadi satu paket dengan produk. Service seharusnya sudah dilakukan sebelum penjualan terjadi, boleh disebut before sales-service.



Khususnya di industri B2B, para salesman "menyervis" pelanggan lebih dulu. Mentraktir makan, mengajak karaoke atau golf. Tujuannya supaya dapat order atau job. Philip Kotler menyebutnya sebagai LGD-marketing atau lunch-golf-dinner marketing.



Bila juga dilakukan selama proses penjualan, hal itu bisa disebut sebagai during-the-sales service. Tapi, yang saya maksud dengan Service di sini bukan hanya itu. Kalau hanya itu, tidak usah dipisah dari elemen product (yang dijual) dan selling (proses) yang keduanya ada di dimensi taktik.



Buat saya, Service harus ditulis dengan S huruf besar (Capital S). Mengapa? Karena SERVICE harus
menjadi paradigma dari semua marketing-oriented business. Tidak peduli apa industrinya. Mau hotel, restoran, atau transportasi, yang memang nyata-nyata di industri jasa. Tapi, juga berlaku untuk yang non-jasa seperti consumer goods, semen, bahkan infrastruktur. Sama saja juga untuk yang B2B (business to business) atau B2C (business to consumer).



Jadi, saya memberikan "pengertian baru" dari Service dengan huruf "S Besar" ini. Semacam redefinisi! Bukan "taktikal", tapi bukan juga "kategorial"!



Nah, kalau mengacu pada situasi bersaing yang bergeser melalui lima tahap dari 2C ke 4C, Service pun mengalami shifting. Pada tahap 2C, Service hanya ada di industri non-jasa, karena industri lain merasa tidak perlu melakukan hal itu. Kalaupun ada, ya sekadar "s" (service dengan huruf s kecil) yang bersifat taktikal.



Di tahap 2,5 C, Service menjadi semacam value-added business. Industri non-jasa pun mulai memberikan tambahan jasa, supaya ada "nilai tambah". Beli TV termasuk garansi setahun. Beli jas dikasih kancing cadangan. Beli apartemen, gratis mebel, dan sebagainya. Industri jasa sudah biasa memberikan ekstra seperti ini. Menginap di hotel termasuk makan pagi. Ke bar termasuk minuman pertama. Naik pesawat termasuk bagasi 20 kg dan sebagainya. Ini namanya value-added dari sudut pandang penjual belum tentu diperlukan pembeli.



Karena itu, ketika situasi sudah menjadi 3C, Service menjadi value in use. Pemasar harus memberikan sesuatu yang memang dibutuhkan pelanggan. Berikan variasi kepada pelanggan supaya mereka bisa mendapat "ekstra" yang pas. Ini bergantung pada segmen masing-masing. Sebuah "privilege parking" for ladies dari sebuah shopping mall sangat bermanfaat untuk ibu-ibu yang menyetir sendiri. Sedang ibu-ibu yang ke shopping mall disetiri sopir lebih suka undian berhadiah, misalnya.



Juga harus dijaga keseimbangan antara cost to serve dan value to customer. Kalau cost-nya tinggi, tapi value-nya nggak ada buat customer, kan buang duit? Yang bagus adalah cost rendah buat pemasar, tapi bernilai tinggi buat pelanggan!



Pada tahap 3,5C, Service menjadi customer satisfying business. Temuan tiga profesor, yaitu Leonard Berry, Valarie Zeithaml, dan Parasuraman sangat memengaruhi saya dengan konsep "Service Quality"-nya. Ketika itu lima elemen dasar ServQual, yaitu reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible baru mulai populer. Tapi, belum banyak yang melaksanakannya.



Sekarang, hampir semua perusahaan sudah begitu karena tingkat persaingannya yang sangat kompleks. Dan, akhirnya, kalau situasi persaingan sudah sampai ke 4C, Service is The ONLY BUSINESS CATEGORY.



Artinya? Berada di industri apa pun, Anda mesti berpikir bahwa Anda berada di industri jasa. Every Business is a SERVCE BUSINESS!


No comments: