SATU hal yang saya lihat konsisten pada diri Pak Ciputra sejak
dulu sampai sekarang ialah entrepreneurship. Beliau percaya bahwa inilah
yang akan membawa Indonesia maju. Tanpa entrepreneurship, sebuah negara
tidak akan maju.
Pak Ci "mengajarkan" kepada saya bahwa orang seperti itu rugi sendiri. Tidak memanfaatkan kesempatan yang ada. Memang, harus diakui, tidak semua perusahaan memberikan kesempatan kepada Anda seperti itu. Harus diakui, susah juga kalau Anda bekerja di divisi produksi, operasi, atau administrasi yang rutin.
Tugasnya hanya melakukan sesuatu menurut SOP (standar operasi prosedur), bahkan
tidak boleh berinovasi sedikit pun. Tapi, bila ada bos seperti Pak Ciputra yang
selalu "menantang" karyawannya untuk mempunyai jiwa entrepreneurship
di perusahaannya, rugi besar kalau tidak diambil.
John Kao adalah bekas profesor di Harvard Business School yang juga produsen
film Sex, Lies, and Videotape. Dia melakukan survei entrepreneurship
dan menemukan bedanya dengan profesional murni.
Katanya, ada tiga yang paling utama. Pertama, seorang entrepreneur
pintar melihat peluang atau opportunity. Sedangkan, seorang profesional
lebih suka melihat sisi threat atau ancaman dari suatu situasi.
Situasinya bisa sama, tapi yang satu dilihat sisi positifnya, sedangkan yang
satu dari sisi negatifnya.
Tahu cerita orang yang dikirim bosnya untuk survei sepatu di suatu pulau?
Ketika balik ke bos yang minta dia survei, si karyawan mengatakan bahwa di sana
tidak ada peluang. Kenapa? Di pulau itu tidak ada orang pakai sepatu. Semuanya
masih pakai sandal.
Buat si bos, kata "masih" itu jadi peluang untuk ngajarin mereka
pakai sepatu. Jadi, peluangnya sangat besar! Sedangkan, si karyawan yang tidak
punya jiwa entrepreneurship bilang begitu karena melihat ancaman.
Ancaman untuk sebuah tugas jualan sepatu di situ. Maunya cuma jual sepatu di
tempat yang orangnya sudah pakai sepatu, tapi banyak saingan!
Tempat seperti itu buat si bos justru ancaman. Jadi, beda kan cara
melihat suatu situasi yang sama? Kedua, seorang profesional yang
"berhasil" melihat peluang minta semuanya safe. Tidak mau
ambil risiko.
Balik ke cerita tadi, walaupun dia mengerti bahwa pulau tersebut adalah
peluang, si karyawan minta jaminan bahwa dia akan berhasil jualan sepatu di
situ. Mana ada jaminan seperti itu. Si bos, sebaliknya, sudah melihat cara
"ngajari" orang-orang di situ untuk pakai sepatu. Dia juga sudah
membayangkan berapa besar effort dan cost yang harus dikeluarkan
pada tahap awal. Selanjutnya, dia juga sudah membayangkan cost-benefit
analysis yang harus dihitung.
Si bos mau ambil risiko dengan perhitungan. Dia juga siap menjadi risk taker
dengan persiapan exit strategy kalau gagal supaya tidak rugi secara
besar-besaran. Sedangkan, si Karyawan sama sekali gak mau ambil risiko,
bahkan menghindarinya. Risk averter!
Dia juga tidak mencoba mencari cara-cara kreatif untuk membuat peluang tadi
jadi kenyataan. Menunggu ada SOP-nya..."Kan saya anak buah, kan
saya karyawan, kan saya orang gajian...." Dan seterusnya!
Para profesional sering hanya pintar bikin alasan dan defensif kalau ditanyain.
Tidak berani menerima challenge. Sedangkan, seorang entrepreneur
berani melakukan sesuatu tindakan nyata dengan perhitungan.
Ketiga, sesudah bisa melihat peluang dan menghitung risiko serta mengambil
keputusan, masih ada satu lagi yang penting. Yakinkan orang lain, libatkan
orang lain, ajak orang lain untuk dapat modal, dapat dukungan, maupun dapat
talenta yang bagus.
Seorang profesional yang tidak punya jiwa entrepreneurship tidak berani
mengajak orang lain. Takut salah, takut ditolak, dan takut dimarahin orang.
Inilah "penyakit" orang yang begitu. Karena itu, banyak pengusaha
kecil yang cuma bisa marah-marah pada pemerintah. Minta pelatihan, minta modal,
minta bimbingan, bahkan minta bisnis! "Masak saya pengusaha lokal
dan kecil tidak (dibantu) memenangkan tender!" Begitu keluhannya.
Seorang entrepeneur sejati -apakah dia sudah jadi pengusaha atau malah
tetap jadi karyawan- jarang mengeluh! Tapi, mereka selalu berusaha
"menjual idenya" kepada orang lain karena dia yakin bahwa idenya
bagus !
Nah, sekarang Anda tahu kan? Ada karyawan yang bermental "pengusaha".
Sebaliknya, ada yang sudah mendirikan perusahaan, tapi "berjiwa"
karyawan. Anda milih jadi yang mana? Hahaha!
Setelah 20 tahun lebih, saya pikir-pikir apa yang saya "pelajari"
dari Ciputra itu pas dengan hasil riset Prof John Kao. Memang Ciputra is the
real entrepreneur! Dia adalah inspirator besar saya saat memulai MarkPlus
Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya. (*)
No comments:
Post a Comment