Sobat Semua...
Berikut ini saya upload kembali kumpulan tulisan bapak hermawan kertajaya di jawapos di tahun 2010, sebanyak seratus artikel secara bertahap saya akan upload artikel2 tersebut sebagai kenang2an dari pada tersimpan di komputer dengan satu harapan semoga bisa diambil manfaat dan pelajaran selamat menikmati :
Belajar dari Dahlan Iskan
SETELAH hampir dua puluh tahun saya jadi entrepreneur, kayaknya
sudah waktunya melakukan confession. Paling tidak, ada tiga orang yang
menginspirasi saya, sampai "berani" keluar dari Sampoerna dan membuka
MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990.
Pak Dahlan Iskan adalah salah satunya. Tentu saja bukan dari seorang Dahlan
Iskan yang sudah terbukti bisa membesarkan Jawa Pos seperti sekarang dan
bahkan diangkat pemerintah untuk memimpin PLN seperti sekarang.
Saya justru "belajar" dari Pak Dahlan yang masih sedang struggling
mati-matian... Namun, saya sudah "sensing" waktu itu bahwa pada suatu
ketika orang ini akan jadi somebody yang hebat. Untuk itu, saya perlu flashback
ke belakang sedikit.
Ketika Pak Dahlan mulai dipercaya untuk menjalankan Jawa Pos di
Surabaya, saya masih bekerja sebagai
general manager marketing PT Panggung Electronic Industries.Tugas saya adalah memasarkan produk produk JVC, TEAC, MAXELL, JBL dan bekangan CASIOTONE. Di situlah saya untuk kali pertama belajar secara "praktik" bagaimana produk-produk elektronik didistribusikan. Di situ pula saya sadar bahwa sebagus apa pun produk dan sekuat apa pun brand yang dijual, akan susah dipasarkan kalau jalur distribusi tidak bagus.
general manager marketing PT Panggung Electronic Industries.Tugas saya adalah memasarkan produk produk JVC, TEAC, MAXELL, JBL dan bekangan CASIOTONE. Di situlah saya untuk kali pertama belajar secara "praktik" bagaimana produk-produk elektronik didistribusikan. Di situ pula saya sadar bahwa sebagus apa pun produk dan sekuat apa pun brand yang dijual, akan susah dipasarkan kalau jalur distribusi tidak bagus.
Di PT Panggung yang kompleksnya ada di Waru, saya juga belajar bagaimana orang
Jepang mengembangkan manajemen khasnya. Karena itu, saya jadi sering punya kesempatan
untuk ke Jepang bolak-balik bersama Pak Kindarto Kohar dan Pak Ali Soebroto,
"kulakan" dari berbagai pabrik elektronik tadi.
Nah, ketika itulah, Pak Dahlan sedang gencar-gencarnya membangun kembali Jawa
Pos yang waktu itu oplagnya tinggal 6.000 eksemplar. Orang yang tidak punya
pendidikan bisnis apa pun, tapi langsung praktik bisnis. Amazing... apalagi
posisi sebelumnya, kepala biro majalah Tempo di Surabaya. Jadi murni
redaksional!
Dalam membangun Jawa Pos, Pak Dahlan tidak mau ikut "aturan
main" koran, yang di Surabaya "diset" oleh Surabaya Post
yang koran sore. Pikirannya sederhana saja. Masa Jawa Pos sebagai koran
pagi kalah dari koran sore... Tapi, masalahnya, para agen koran di Surabaya
sudah tidak ada yang mau bangun subuh karena Jawa Pos tidak laku.
Satu hal fenomenal yang dilakukan Pak Dahlan, sambil membuat koran Jawa Pos menjadi
different, tapi juga membuat semua karyawan jadi agen koran. Distribusi!
Persis seperti yang saya lakukan di PT Panggung, yaitu menata distribusi
kembali. Dari sistem distributorship menjadi branch management.
Dalam membuat Jawa Pos jadi unik, saya masih ingat Pak Dahlan yang masih
ngantor di Kembang Jepun itu pernah mengatakan, "Kita jangan niru
koran-koran lain yang halaman pertamanya cuma masang gambar Pak Harto tiap
hari..." Jadi, waktu Indonesia masih "sangat vertikal", justru Jawa
Pos sudah "horizontal". Di antaranya mendatangkan orang gede dari
Kalimantan.
Berita tentang orang gede ini pasti "eksklusif" karena Jawa Pos
yang "punya" orang itu. Pikiran dan perilaku Pak Dahlan yang dianggap
aneh itulah justru yang akhirnya "membesarkan" Jawa Pos.
Pak Dahlan juga tidak segan-segan "minta tolong" kepada saya untuk
dapat akses ke PT Panggung supaya bisa melihat World Cup secara langsung dari
antena parabola, yang saat itu belum ada yang punya. Dengan demikian, Jawa
Pos jadi koran satu-satunya yang bisa menceritakan gol-gol indah World Cup
lengkap dengan ilustrasi pada keesokan harinya.
Saya juga masih ingat bagaimana PT Panggung "dirayu" Pak Dahlan untuk
memasang multiscreen di Balai Pemuda untuk pameran yang di-organise Jawa Pos.
Saking kagumnya saya, walaupun Jawa Pos masih kecil, saya sempat
mengundang beliau masuk kelas "Marketing Management" yang saya pegang
di Ubaya. Saya bahkan bikin kompetisi antarmahasiswa untuk bikin paper
tentang kasus Jawa Pos.
Saya bahkan membawa case ini dalam talk saya ke mana-mana dengan
konsekuensi "dimarahin" orang karena belum tentu terbukti nantinya.
Tapi, itulah yang saya lakukan..
Kenapa?
Karena sambil mendiskusikan kasus itu, saya akan memperkuat "konsep
marketing" yang saya baca di buku-buku dengan kenyataan praktiknya. Itulah
saya "belajar" dari seorang Dahlan Iskan!
Selain itu, tentu saja, tulisan Reboan saya yang berjalan sejak saya masih
bekerja di PT Panggung dan berlanjut ketika di Sampoerna. Dengan
"terpaksa" menulis tiap Rabu, saya jadi harus banyak mencari kasus current
affair untuk dibahas dalam kerangka konsep marketing. Saya selalu
mengusahakan tulisan saya tidak keluar dari koridor marketing, walaupun kasus
yang dibahas bisa segala macam.
Misalnya, saya masih ingat artikel pertama saya di Jawa Pos adalah
tentang Konser Pepsi Cola di Jakarta yang menampilkan Tina Turner. Saya menulis
bahwa Tina Turner dengan voice power-nya yang saya lihat sendiri, pas
untuk memperkuat positioning Pepsi sebagai brand yang mau different
dari Coke yang klasik.
Tapi saya juga menulis tentang kekaguman saya terhadap Lady Di yang berhasil
memosisikan diri sebagai people's princess mumpung tidak disukai oleh
keluarga kerajaan! Dua kasus berbeda tapi konsep analisisnya sama. Dengan
melakukan itu, saya berusaha supaya tulisan Reboan saya harus "hot",
tapi tetap "marketing"
Jadi, selain saya "mengaku" bahwa selain belajar
"marketing" dari Pak Dahlan, saya memang sudah berusaha
"memosisikan" diri sebagai "professional marketing analyst"
sebelum 1 Mei 1990, waktu dilahirkannya MarkPlus Professional Service di
Surabaya.
Besok saya akan membuka "rahasia" yang lain. (*)
No comments:
Post a Comment