Negara yang kaya, bukanlah negara yang besar penghasilannya tetapi negara yang menyediakan banyak peran bagi warganya. Saya menonton seni perkusi dari Korea ini dengan takjub. Sederetan pemuda dengan tampang gaul sedang menabuh aneka gendang Korea dan di antaranya cuma kebagian nenabuh terbang kecil.
Saya sebut "cuma" karena alat musik itu bukan grand piano yang megah atau satu set drum yang gagah. Menjadi pianis atau menjadi drummer masih terdengar lazim. Tapi menjadi penabuh terbang kecil adalah profesi yang ribet jika harus ditulis di KTP atau sebagai alat untuk meyakinkan mertua. Menyebut diri sebagai pemain musik pun hanya pemusik sukses yang diterima dengan baik saat apel pacar. Tapi jangan coba- coba bagi pemusik pemula yang tengah merintis jalan apalagi sekadar penabuh terbang kecil yang setiap orang rasanya bisa menabuhnya.
Tapi anak-anak muda penabuh perkusi ini seperti tak peduli. Ia menabuh gendang dan terbangnya dengan jiwa penuh seluruh. Mereka adalah sekelompok pemusik yang kesurupan dan merasa dunia telah di genggaman. Mereka tampak bahagia dengan alat-alat musiknya yang sederhana. Tegasnya, bukan alat itu kata kuncinya. Tapi mereka bahagia dengan pilihan hidupnya.
Anak-anak muda itu bukan tidak tahu bahwa di negaranya ada boy band yang gemerlap. Mereka bukan tidak menyadari bahwa seni perkusi itu hidup dengan pasar terbatas, dengan penanggap tak pasti. Seperti halnya sahabat saya pantomimer Jemek Supardi, ia bukan tak paham bahwa seni pantomim bukanlah musik dangdut. Tapi ada yang lebih penting dari kesadaran kalkulatif semacam itu, yakni kesadaran intuitif. Kesadaran intuisi itu akan membuat manusia berani melayani panggilan peran. Sementara kesadaran kalkulasi hanya berani melayani panggilan yang dianggap lebih strategis dan lebih menguntungkan.
Banyaknya kesadaran kalkulasi itu sungguh memiskinkan peradaban. Karena yang disebut cita-cita yang tinggi itu hanya sebatas menjadi dokter, insinyur, tentara dan polisi. Kesadaran itu juga sangat mempengaruhi minat memilih jurusan kuliah. Jurusan yang dipadati mahasiswa hanyalah jurusan yang dianggap mudah sebagai alat mencari kerja. Lalu jenis pekerjaan pun akhirnya hanya itu-itu saja dengan pegawai negeri sebagai puncaknya.
Tentu yang disebut "itu-itu" di atas bukanlah pekerjaan buruk. Pekerjaan yang amat baik malah. Tapi jumlah jenis pekerjaan yang baik, tentu bukan cuma itu. Inilah persoalannya. Itulah kenapa bangsa yang cita-citanya masih dari jenis yang itu-itu saja, rezekinya juga masih sebatas itu-itu saja. Masih.sebatas tukang rakit dan pemburu bagi hasil saja. "Ini sumber daya alam olahlah, kepadaku cukup kau beri bagian keuntungannya saja," cuma begitu kemampuan kita.
Itulah hasil dari pihak yang bersekolah cuma untuk mencari kerja, bukan mencari ilmu. Akhirnya ia memang behasil mendapatkan pekerjaan tapi tidak mendapatkan ilmu. Akhirnya rendahlah bayarannya.
* Diambil dari http://www.priegs.com
No comments:
Post a Comment