GURU kedua saya sebelum membuka MarkPlus Professional Service
pada 1 Mei 1990 adalah Putera Sampoerna. Itulah perusahaan terakhir saya
sebelum MarkPlus.
Bagi saya, Sampoerna juga sebuah Universitas tempat saya magang. Misi utama
saya selama kurang lebih dua setengah tahun di sana adalah membangun sistem
distribusi sendiri.
Pak Putera sangat percaya, walaupun Sampoerna punya produk bagus, kalau
distribusinya ''macet'', tidak akan ada gunanya. Padahal, waktu itu produk
''kuat'' Sampoerna hanya satu, yaitu Dji Sam Soe. Produk lain ketika itu hanya
bersifat ''regional'', tidak bisa nasional.
Dji Sam Soe memang sangat kuat. Bahkan sampai sekarang pun masih ''sakti''.
Nyaris tidak ada brand lain yang bisa masuk ke segmen itu. Dji Sam Soe
adalah rokok keretek termahal di Indonesia, bahkan di dunia. Sebab, di luar
Indonesia, tidak ada rokok keretek... :)
Tapi, ketika itu Pak Putera berencana me-launch produk baru yang
inovatif. Belakangan, kita semua baru
tahu bahwa produk tersebut adalah A Mild yang merupakan terobosan pertama dari ''kebuntuan'' inovasi keretek waktu itu. Persis seperti di kasus Jawa Pos kemarin, walaupun produk cukup inovatif, kalau saluran distribusi mampet, ya gak ada gunanya.
tahu bahwa produk tersebut adalah A Mild yang merupakan terobosan pertama dari ''kebuntuan'' inovasi keretek waktu itu. Persis seperti di kasus Jawa Pos kemarin, walaupun produk cukup inovatif, kalau saluran distribusi mampet, ya gak ada gunanya.
Di antara
empat P-nya marketing mix, yaitu product, price, place,
and promotion, place ini memang paling susah. Biasanya, orang marketing
paling suka main price aja karena hasilnya bisa terlihat
langsung. Turun harga hari ini, besok volume penjualan naik.
Obat keras! Tapi, bisa berbahaya karena belum tentu memecahkan masalah
sebenarnya. Bahkan, kalau terlalu sering dipakai, tidak pada tempatnya, brand
image bisa hancur. Kecuali kalau sebuah brand memang diposisikan
sebagai low cost atau low price.
Air Asia dan
Ikea misalnya, berusaha menurunkan harga barang dengan kualitas yang sama dari
waktu ke waktu. Tapi, hal itu menuntut inovasi di bidang proses dan cost.
Bukan sekadar banting harga!
Sesudah price, yang sering dipermainkan orang adalah promotion,
antara lain, karena ''glamor''. Jadi, ngerjainnya seneng. Juga,
seringkali karena terpacu pesaing!
Price war ini adalah dua ''perang pemasaran'' yang sering terjadi karena
relatif mudah. Inovasi produk jauh lebih sulit karena menurut statistik 80
persen produk baru gagal karena berbagai alasan.
Karena itu, orang jadi segan melakukannya. Lebih baik nunggu! Tapi, bisa telat lho...
Selain itu, kalau kita tidak pernah mengembangkan produk baru, produk sekuat
Dji Sam Soe pun akan ''mati'' pada suatu ketika!
Karena itulah, Putera Sampoerna meminta saya untuk membenahi distribusi.
''Tidak ada gunanya punya produk inovatif kalau macet di distribusi,'' katanya.
Nah, inilah yang paling ''ogah'' dilakukan orang karena banyak pihak yang akan
jadi korban, sehingga ''resistansi'' akan tinggi.
Waktu itu, tugas saya mirip di PT Panggung. Mengubah model keagenan jadi model branch
management. Dan itu tidak gampang!
Bayangin saja, bagaimana agen-agen Sampoerna yang sudah tiga generasi
tiba-tiba diambil alih fungsinya oleh seorang kepala cabang. Mereka memang
sudah sangat kaya. Tapi, masalahnya, mereka tidak mau ''kehilangan muka'' di
daerah masing-masing. Karena itu, negosiasi harus dijalankan dengan sabar dan
pelan-pelan.
Waktu itu, saya membagi wilayah Indonesia jadi 54 area dengan mempertimbangkan,
antara lain, market size, jalur logistik, serta banyaknya pedagang rokok
besar dan kecil. Semua data dari BPS dicampur files sendiri dianalisis
dengan cermat. Selain itu, masih disisakan area yang sulit dijangkau untuk
tetap dipegang penyalur khusus.
Nah, di antara 54 area itu, akhirnya ditentukan sembilan region. Angka
sembilan memang angka keramat di Sampoerna. Sebab, angka itu memang lambang
kesempurnaan. Saya masih ingat, waktu itu semua nomor telepon dan nomor mobil
di Sampoerna selalu berjumlah sembilan!
Karena itulah juga, logo MarkPlus Professional Service yang dimulai 1 Mei 1990
tersebut pakai bujur sangkar tiga kali tiga dengan huruf M-A-R-K-E-T-I-N-G. Pas
sembilan huruf kan! Angka hokkie!
Penguasaan wilayah oleh orang yang benar-benar mengerti market sangat penting
bagi Putera Sampoerna. Tanpa itu, produk seinovatif apa pun yang didorong iklan
sehebat apa pun tidak akan sukses. Karena masalah distribusi ini tidak glamor,
orang marketing kurang suka membicarakannya. Tapi, justru di situlah
kuncinya!
Jadi, banyak orang salah ngerti bahwa Philip Morris mau membeli
Sampoerna dengan harga demikian tinggi cuma karena A Mild dan iklan-iklannya
yang kreatif. Mereka lupa bahwa sampai sekarang pun Sampoerna kayaknya
paling solid dalam distribusi dan penguasaan pasar.
Besok saya masih akan bercerita lagi pelajaran lain yang saya dapatkan selama
saya magang di Sampoerna...(*)
1 comment:
Betul, sebagus apapun produknya kalau pendistribusiannya buruk tentu menjadi sia-sia.
Post a Comment