PERJALANAN awal MarkPlus Professional Service tidak semulus yang saya
kira. Padahal, personal brand awareness saya sudah cukup tinggi berkat menulis
di Jawa Pos tiap Rabu (sejak masih di PT Panggung Electronic Industries dan
dilanjutkan ketika di Sampoerna). Personal brand association saya juga sudah
sangat "tajam", karena selalu dan hanya menulis dari
"angle" marketing. Kalau dihitung secara kasar saja, tiga tahun
berturut-turut waktu itu berarti sudah 150 tulisan marketing saya keluar di
Jawa Pos.
Kehadiran saya di Rotary Club Surabaya Rungkut pun membantu terjadinya network. Di sanalah saya mulai menawarkan diri untuk bicara secara "gratis" di perusahaan-perusahaan teman saya. Itu pun susah!
Mereka suka membaca tulisan saya karena mudah dicerna, tapi tak mau spend waktu
untuk anak buah. Mereka takut kalau saya hanya omong kosong. Untungnya, waktu
itu, saya punya kegiatan lain. Yaitu, mengajar secara part-time di Fakultas
Ekonomi Ubaya bersama mantan pembimbing skripsi saya di situ, Pak Henky Supit,
yang sekarang profesor. Selain itu, saya mengaktifkan diri di Indonesia
Marketing Club atau IMC Cabang Surabaya. Pokoknya, supaya kelihatan sibuk, saya
harus pergi keluar rumah setiap hari!
Kalau cuma di rumah di Jalan Taman Prapen Indah C 8, Surabaya, saya malu sama tetangga! Karena itu, setiap hari saya harus keluar rumah, nyetir Corolla cicilan ke mana aja. Mengunjungi kantor teman untuk menjajakan diri, tapi tidak laku! Gratis sekalipun.
Semua orang yang dulu hormat, ketika saya masih jadi direktur PT HM Sampoerna,
kayak ogah ditemui. Padahal, dulu mereka yang mencari-cari saya. Minta tambahan
jatah rokok atau minta sumbangan, bahkan sponsorship. Terus terang, sesudah
sebulan saya agak putus asa. Mau balik kerja sama orang malu, mau meneruskan
rasanya berat sekali. Tapi, saya tidak boleh terlihat seperti itu di rumah
maupun di depan teman-teman.
Setiap malam saya sedih melihat kedua anak saya yang masih kecil, Michael dan
Stephanie. Saya tidak khawatir akan saya sendiri, tapi khawatir akan nasib
mereka yang masih sekolah di Santa Maria. Di malam hari, beberapa kali saya
mengeluarkan air mata secara tidak sengaja.
Tapi, bagaimanapun, saya harus bertahan! Caranya? Akhirnya, saya mengambil
keputusan untuk menghadap kepada Pak Putera Sampoerna. Saya ajak Mike (panggilan
Michael, anak Hermawan, Red) dan saya brief dia di mobil bahwa saya akan
"minta job" kepada Pak Putera. Maksudnya, supaya dia bisa mengerti
"perjuangan" saya untuk minta job. Tapi juga, untuk meng-create efek
psikologis Pak Putera.
Kami berdua diterima Pak Putera Sampoerna di kamar kerjanya kira-kira pukul
tujuh malam. Michael yang belum besar kelihatan "prihatin" akan
suasana yang agak "tegang", terutama ketika saya mulai berbicara.
Saya langsung melaporkan bahwa saya sudah mengembalikan Toyota Crown Saloon dan
terima kasih karena utang saya dihapus. Saya memang berutang ketika saya masih
bekerja di Sampoerna untuk ambil MSc in Marketing dari Graduate School of
Business dari University of Strathclyde (by distance learning). Artinya, saya
tidak perlu ke Inggris, tapi cukup belajar dari bahan yang dikirim, ikut
tutorial di Singapura, dan ujian di British Council.
Saya mengambil keputusan itu supaya punya ijazah S-2 tanpa meninggalkan
pekerjaan. Strathclyde dipilih, karena saya lihat rankingnya paling tinggi di
antara distance learning program lain waktu itu.
Kalau sekolah full time di sana, hanya empat kuartal atau setahun. Kalau
distance learning harus empat semester atau dua tahun. Ketika saya keluar dari
Sampoerna, saya sudah menyelesaikan tiga semester dengan baik.
Semester empat yang berupa tesis paling merepotkan saya. Komunikasi dengan
pembimbing susah, apalagi bahasa Inggris saya kan memang kurang bagus untuk
menulis sebuah tesis. Tapi lumayan, paling tidak sudah lunas utang saya untuk
bayar uang sekolah yang harus dibayar sebelumnya.
Balik pada cerita saya, sesudah melaporkan kedua hal tadi, saya langsung saja
minta tolong kepada Pak Putera untuk diberi "pelaris". Saya mengaku
saja kalau belum laku!
Dalam waktu setengah jam, Putera Sampoerna setuju untuk memberikan job training
kepada mantan anak buah saya sendiri di divisi distribusi di seluruh Indonesia
selama satu tahun. Itulah job pertama saya! Sebuah kontrak besar! Langsung
saja, saya terharu dan merangkul Mike dalam perjalanan pulang ke rumah. Lega
rasanya, setelah sebulan tidak dapat job apa pun.
Saya masih ingat, waktu itu total kontrak setahun yang saya dapat sebanyak dua
setengah kali dari gaji saya setahun sebagai direktur! Terus terang, inilah
"aliran transfusi darah" pertama supaya MarkPlus Professional Service
tidak jadi "mak" dan "plus"!
Nah, dengan adanya buffer itu, saya dapat hidup tenang paling tidak setahun.
Selain itu, ada kesempatan untuk mulai mencari pembantu administrasi, kantor.
dan mengembangkan network di luar kota.
Pelajaran apa yang saya dapat di sini? Saya menjual paket training besar kepada
eks bos saya untuk melatih eks anak buah saya sendiri dalam situasi psikologis
yang tepat! Selain itu? Sebenarnya saya tidak menjual, tapi meminta pada saat
yang tepat (Pak Putera lagi rileks di sore hari) dalam situasi psikologis yang
tepat pula (ada Mike di situ). Suatu peristiwa yang tidak akan pernah bisa saya
lupakan sampai kapan pun! (el)
No comments:
Post a Comment