SAYA menempatkan brand di luar product pada 1993.
Itu merupakan "keberanian" tersendiri. Waktu itu, konsep brand
masih baru populer.
Banyak orang masih menganggap brand adalah bagian dari product.
Karena itu, banyak organisasi perusahaan yang hanya punya product manager,
bukan brand manager.
Perusahaan seperti itu sebenarnya masih berorientasi pada production
atau product. Lebih mudah mengategorikan berbagai produk jadi product
lines. Bisa jadi, produk-produk menggunakan brand yang berbeda satu
sama lain. Kalaupun harus me-manage berbagai manager, seorang product
manager akan "pecah konsentrasi". Kenapa? Sebab, setiap brand
punya image sendiri yang akan diciptakan!
Jadi, kalau Anda seorang product manager yang punya berbagai brand,
Anda sama dengan seorang ibu yang mengasuh berbagai anak yang saling berbeda.
Seorang brand manager yang mempunyai berbagai produk akan lebih mudah
"memupuk kepribadian"
brand tersebut. Walaupun pendapat umum waktu itu menyebut brand is part of the product, saya beda.
brand tersebut. Walaupun pendapat umum waktu itu menyebut brand is part of the product, saya beda.
Saya berpendapat bahwa brand is the umbrella of the products. Saya
menggunakan "suara hati" dalam mengambil keputusan waktu itu. Sekali
salah, habislah konsep Marketing Plus 2000! Tidak punya kredibilitas lagi,
karena tidak in line dengan trend konsep marketing yang
terus evolving.
Sekarang nyata bahwa hal tersebut benar kan. Mega band seperti
Virgin ternyata bisa jadi umbrella untuk arlines, Cola, music
retailer, phone operator, financial service, train company,
bahkan perjalanan wisata luar angkasa! Edan kan?
Walaupun kategori produknya berbeda-eda, tapi kepribadian Virgin tetap sama. Rebellious,
unusual, adventurous, sexy, and wild! Karena itulah, saya tetapkan brand
sebagai elemen paling penting di value! Kenapa?
Ya karena hanya brand yang bisa menciptakan marketing value.
Bahkan, saya berani mengatakan bahwa marketing tidak punya added
value kalau tidak punya brand kuat. Walaupun diferensiasinya cukup
solid! Karena itu pula, branding pun ikut "bergeser" ketika
situasi persaingan bergeser dari 2C ke 4C dalam lima tahap.
Pada tahap "monopoli", brand is just-a-name! Inilah yang
diyakini Shakespeare ketika dia menulis What is in a name? Apa arti
sebuah nama? Bunga mawar akan tetap wangi, katanya, kalaupun diberi nama lain!
Karena itu, di zaman monopoli, orang memilih nama sembarangan bagi produknya.
Cukup mimpi di lereng Gunung Kawi supaya dapat ilham.
Tapi, brand kan bukan sekadar nama. Karena itu, di situasi 2,5C brand
awareness jadi penting. Para pemasar berlomba-lomba supaya brand-nya
diingat lebih dulu ketika pembeli mengingat sesuatu kategori. Karena itu, jadi top
of mind atau brand yang disebut pertama susah.
Jadi brand yang diingat, walaupun tidak disebut lebih dulu, sudah bagus.
Ketimbang orang baru bisa menyebut brand tersebut ketika diingatkan!
Paling parah, ya kalau sudah diingatkan masih lupa juga.
Contoh gampangnya, apakah Anda bisa otomatis menyebut Fiat kalau ditanya brand
mobil yang diingat? Barangkali enggak, tapi kalau dibantu masih ingat !
Sebaliknya, Kijang barangkali yang paling diingat, disusul brand-brand
lain.
Tapi kalau ditanya mobil Austin ya gak mungkin keingat sama sekali.
Karena memang belum pernah ada atau pernah ada tapi sudah
"terlupakan" sama sekali.
Ketika situasi bergeser lagi ke 3C, mulai diperlukan brand association.
Artinya, sebuah brand tidak hanya cukup diingat orang. Tapi juga harus
mempunyai asosiasi tertentu. Kijang bisa punya asosiasi dengan mobil keluarga,
Toyota, Astra, desain bagus, harga sudah "mahal".
Nah gabungan berbagai asosiasi itulah yang disebut brand image
atau citra merek. Jadi, image itu netral, bisa bagus, bisa jelek,
tergantung asosiasi yang "nempel" pada sebuah brand.
Selanjutnya, kalau situasi persaingan sudah jadi 3,5 C, brand sudah
harus memperhatikan perceived quality. Maknanya sama dengan
"peringkat kualitas" menurut persepsi pelanggan. Mercedez Benz,
misalnya, punya perceived quality lebih tinggi daripada Toyota. Padahal,
Mercy seri C bisa kalah mahal oleh Toyota Crown Saloon.
Karena itulah, Toyota lantas me-launch Lexus untuk mendapatkan peringkat
yang bisa menandingi Mercy. Akhirnya, pada persaingan yang sudah 4C, yang
menentukan kemenangan adalah brand loyalty!
Kesetiaan Pelanggan!
Semakin setia, semakin tidak tergoda untuk pindah brand. Walaupun digoda
diskon, model baru atau "stok kosong". Sekaligus, loyalitas merek
akan memberikan value besar pada produk tertentu karena akan mendorong repeat
buying terus. Pelanggan yang "fanatik" pada suatu brand
akan merasa mendapatkan value lebih tinggi.
Karena itulah, dia berani membayar lebih mahal. Jadi, brand memang bukan
sekadar nama, tapi nama yang bermakna sangat dalam! (*)
No comments:
Post a Comment