PENGALAMAN saya berorganisasi sejak remaja sangat membantu dalam mengelola
MarkPlus Professional Service, terutama pada saat awal. Papa saya yang
pegawai negeri selalu menjadi contoh bagaimana dia suka beraktivitas
sosial. Kami merupakan keluarga sederhana yang tinggal di kampung
Kapasari, Gang Lima, Surabaya.
Waktu masa kecil saya juga di situ. Bahkan, sampai melahirkan Michael,
anak pertama, saya masih di kampung itu. Di kampung, kami hidup sangat
harmonis. Kalau Idul Fitri, orang-orang Tionghoa mengirimkan kue kering
sambil mengucapkan selamat. Sebaliknya, waktu Imlek, para tetangga muslim
mengirimkan kue basah kepada kami.
Sejak kecil, saya selalu didoktrin oleh Papa saya bahwa saya adalah orang
Tionghoa, tapi warga negara Indonesia, bukan warga negara Tiongkok. Juga
sudah biasa mendengar suara azan karena ada langgar di kampung saya. Saya
biasa aktif ikut kerja bakti dan jaga malam di kampung, karena Papa saya
aktif di situ.
Selain itu, papa saya juga bendahara pengurus Sekolah Taruna Nusa Harapan
atau T.N.H., yang akhirnya berubah menjadi Sasana Bhakti. Papa saya juga
waktu mudanya pernah juara pingpong seluruh Indonesia, waktu bat
pemukulnya masih dari kayu! Terinspirasi oleh aktivitas Papa saya di
organisasi sosial dan olahraga itulah, saya jadi suka mengurus organisasi
sosial.
Papa saya pernah mengatakan suatu kalimat yang tidak pernah saya lupakan
sampai sekarang. "Orang besar itu bukan diukur berapa duitnya di kala
hidup, tapi dilihat dari berapa orang yang mau mengikuti mobil jenazahnya,
walaupun dia gak punya duit!"
Karena itu, selain pernah menjadi kepala SMP Sasana Bhakti pada usia belum
genap 20 tahun, saya juga menjadi ketua Sasana Bhakti cabang tenis meja.
Bahkan, pernah jadi ketua PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia)
Cabang Surabaya dan akhirnya sekretaris PTMSI Jawa Timur. Di Kampung
Kapasari, saya pun mendirikan klub pingpong yang bertanding melawan
kampung-kampung lain.
Hal-hal itulah yang akhirnya membawa saya ikut aktif di Indonesia Managers
Club atau IMC Cabang Surabaya. Saya akhirnya juga ikut mendirikan Asosiasi
Manajer (AMA) Indonesia pusat. Di pusat, saya menjabat wakil ketua dan di
Surabaya saya menjadi ketua.
Di Jakarta, saya mengajak Handi Irawan Djuwardi yang waktu itu masih
sebagai konsultan saya untuk aktif di AMA Indonesia Pusat. Sedangkan di
AMA Surabaya, saya mengajak rekan saya, Pak Kresnayana Yahya. Belakangan,
keduanya menjadi ketua, baik di Jakarta maupun Surabaya.
Saya sendiri lantas lebih aktif untuk membentuk Indonesia Marketing
Association (IMA). Ada dua pertimbangan untuk itu. Pertama, IMA hanya
fokus pada marketing, sejalan dengan MarkPlus. Kedua, jalur
internasionalnya jelas. Yaitu, ke Asia Pacific Marketing Federation (APMF)
dan World Marketing Federation (WMF), namanya waktu itu.
Akhirnya saya menjadi presiden APMF pada 1998-2000. Sekarang APMF sudah
berubah menjadi AMF, tanpa Pacific. Philip Kotler adalah honorary fellow,
sedangkan saya adalah fellow di situ. WMF berubah menjadi WMA yang berarti
association bukan federation. Saya tetap menjadi presiden WMA sampai
sekarang mewakili Asia, karena Amerika dan Eropa saling "bersaing".
Pengalaman di organisasi inilah yang akhirnya membuat saya membentuk
MarkPlus Strategic Forum yang lebih terkenal dengan nama "Forum" di
Surabaya pada 1992. Tanadi Santoso adalah anggota nomor 001, yang setelah
sepuluh tahun berturut-turut menjadi anggota, pada 2002 berubah status
jadi life time member. Nggak usah bayar lagi!
Pembentukan "Forum" ini, terus terang, terinspirasi dari keaktifan saya di
berbagai organisasi sosial, terutama AMA dan IMA. Saya melihat "kekuatan"
member kalau mereka berkumpul secara rutin bulanan. Zaman itu belum ada
internet, jadi pertemuan hanya offline.
Saya masih ingat, kasus yang menjadi topik pertemuan pertama Forum adalah
Citibank Credit Card! Waktu itu saya bisa mengundang Enny Hardjanto yang
Marketing Director Citibank dari Jakarta, karena MarkPlus juga merupakan
"partner" Citibank untuk mencari customer kartu kreditnya.
Yang hadir pada pertemuan pertama itu hanya 25 orang. Tempatnya di
Heritage Club, klub eksekutif satu-satunya di Surabaya waktu itu. Saya
"memberanikan" diri untuk menjadi member Heritage supaya bisa "naik
kelas". Padahal, bayarnya mahal. Tapi, karena itulah, saya lantas boleh
menggunakan Heritage Club di Jalan Basuki Rachmat itu untuk tempat
pertemuan rutin bagi Forum!
Ini juga sebagai diferensiasi dari pertemuan IMC maupun AMA. Memang harus
menjadi "bonek" sedikit kalau mau "naik kelas". Nah, gabungan dari
pengalaman berorganisasi dan jiwa kewirausahaan itulah yang membuat saya
menjadikan Forum sebagai bagian dari strategi MarkPlus Professional
Service.
Pada saat ini, ya sudah biasa. Semua orang sadar bahwa harus membentuk
komunitas! Besok akan saya ceritakan bagaimana Forum ini saya kelola
sampai akhirnya menjadi the real marketing community seperti sekarang.
Tapi, saya benar-benar merasa berutang pada Papa saya yang menginspirasi
saya untuk berorganisasi. Pada hari penguburannya, ketika Papa saya
meninggal pada usia 61 tahun, saya benar-benar menangis. Waktu itu saya
masih menjadi kepala SMP Sasana Bhakti. Kenapa? Satu, saya tidak bisa
menyelesaikan kuliah saya di ITS.
Padahal, Papa saya sangat bangga, setiap menceritakan kepada
teman-temannya bahwa saya adalah mahasiswa ITS Fakultas Tenik Elektro!
Kedua, saya merasa belum bisa "membalas budi" apa-apa kepada Papa saya
yang sudah mendidik saya supaya bisa jadi "juara kelas" dan "aktif di
organisasi sosial". Saya sangat menyesal sampai sekarang, karena waktu itu
saya tidak punya cukup uang untuk memberikan pengobatan terbaik untuk
penyakit tenggorokannya.
Ketiga, tapi saya juga menangis bangga. Melihat orang yang mengiringi
mobil jenazahnya yang disetir pelan-pelan, sangat panjang! Dari Kapasari
Gang Lima sampai Jagalan 132-136, tempat sekolah Sasana Bhakti! Semua
orang yang mengiringi mobil jenazah Papa saya mengenang aktivitas
sosialnya! Saya jadi ingat definisi "orang besar" menurut Papa saya
almarhum, Tan Siong Pik atau Tandyono yang sangat nasionalis, pluralis,
dan suka aktif di organisasi sosial. (*)
No comments:
Post a Comment