KETIKA berkantor di Surabaya Delta Plaza (sekarang Plasa
Surabaya), saya mulai kedatangan tamu-tamu. Maklum, walaupun nunut, kantornya
cukup representatif. Datang ke kantor, mantan murid dari SMAK St Louis tempat
saya lima belas tahun mengajar. Juga mantan rekan di PT Panggung dan Sampoerna
dulu. Salah seorang rekan saya di Sampoerna yang dulu bekerja di bagian Litbang
juga datang.
Namanya Warsianto, yang bekerja di BAT sebelum di Sampoerna. Dia orang yang
sangat kreatif. Walaupun dari R & D, dia tertarik pada pemasaran. Ketika
itu, dia sudah tidak aktif lagi di Sampoerna dan mengusulkan bahkan membantu
mencarikan sebuah kantor sungguhan untuk MarkPlus Professional Service.
Akhirnya, saya pindah ke kantor sewaan di Jalan Adityawarman No 70.
Bersamaan dengan habisnya kontrak dengan Pak Budi tentang proyek Agrowisata di
Batu, Malang. Saya pun pamit kepada Pak Unang dan mengembalikan mobil Toyota
Crown Saloon.
Lega rasanya punya kantor sendiri karena bisa pasang papan nama. Kalau dulu
nama MarkPlus Professional Service hanya di kartu nama, sekarang sudah bisa di
papan nama! Yang penting, MarkPlus tidak "mati" setelah tiga bulan
seperti diramal teman saya di Rotary Club dulu. Brand awareness
meningkat dan panggilan untuk menjadi speaker mulai berdatangan dengan
tarif yang fixed.
Karena Watty sudah bekerja sendiri, saya pun mulai mencari staf yang mau
membantu. Tidak terlalu sulit seperti dulu. Vivi Jericho yang asal Bangka, dan
kebetulan ikut "pacar" di Surabaya, membantu saya bersama Agus Giri
yang asli Surabaya. Inilah dua orang pertama yang membantu saya dan sampai
sekarang masih tetap ada di MarkPlus sebagai vice president.
Pak Warsianto yang mencarikan kantor pernah ikut membantu saya dan menganjurkan
untuk memperluas jasa ke konsultasi. Berikutnya, Sonni yang dulu ada di
Sampoerna "pegang" Jawa Barat ikut bergabung. Sebagai orang
"lapangan", Sonni yang lulusan FE Unair memperkuat portofolio
personalia MarkPlus.
Dialah yang nanti mengedit tulisan-tulisan saya di Jawa Pos untuk
diterbitkan menjadi buku Marketing Plus: Jalur Sukses untuk Bisnis, Jalur
Bisnis untuk Sukses. Diterbitkan oleh penerbit Sinar Harapan, satu-satunya
penerbit yang mau menerbitkan tulisan saya.
Sonni sekarang cukup sukses dengan "Air Mata Kucing"-nya yang sudah
di-franchise ke mana-mana. Dan, Warsianto sukses meluncurkan Class Mild!
Dua challenger brand yang cukup bisa mendapat posisi bagus di tengah
pesaing-pesaing besar!
Belakangan Hartono Anwar yang lulusan ITS, mantan mahasiswa teman saya, Pak
Kresnayana Yahya, ikut bergabung ketika saya berpikir juga mau masuk ke research.
Hartono sekarang punya perusahaan riset sendiri.
Walaupun kantor mulai kelihatan ramai, kayak kantor "sungguhan", saya
merasa ada yang kurang. Karena itu, ketika ada tawaran untuk mengurusi card
promotion representative atau CPR dari Citibank, saya terima saja. Saya
masih ingat waktu itu, Enny Hardjanto baru direkrut dari Unilever masuk
Citibank. Dan, Citibank baru masuk Surabaya! Kepala cabangnya Pak Irman Tandjung,
sekarang direktur di BTN.
Sebagai multinasional, Citibank tidak mau repot. Mereka menunjuk MarkPlus
sebagai "agen" pencari aplikasi kartu kredit based on commission.
Citibank juga tidak mau repot me-manage para CPR yang freelance
itu. Saya suka menjadi mitra mereka karena tiga hal, paling tidak.
Pertama, bisa belajar "memasarkan kartu kredit" dari Citibank. Waktu
itu kan Citibank lagi sangat berjaya dengan kartu kreditnya. Kedua, bisa
co-branding dengan Citibank. Jadi, di kartu nama MarkPlus, saya bisa
mencantumkan logo Citibank. Juga papan nama Citibank kecil bisa dipasang di
Adityawarman 70 supaya lebih keren. Ketiga, supaya kantor saya lebih
"hidup".
Banyak orang yang masuk keluar kantor, karena para CPR memang harus melapor ke
kantor pagi dan sore. Masih ada bonusnya, kita jadi punya akses ke database
pemohon kartu kredit walaupun mereka belum tentu target market saya.
Saya pun menawarkan diri untuk meng-upgrade para CPR, baik yang dari
MarkPlus maupun mitra Citibank yang lain secara gratis. Pelatihan dilakukan di
kantor Citibank Surabaya, supaya bisa masuk CV bahwa saya pernah mengajar di
sana. Sekalian supaya kenal lebih dekat dengan Enny Hardjanto dan Irman
Tandjung!
Nah, setelah kontrak satu tahun dengan Sampoerna habis, saya bertekad untuk
tidak minta perpanjangan. Malu dan sekaligus manja! Saya bertekad sudah harus
bisa hidup tanpa captive market yang didapat kolusi. Selama satu tahun
pertama itu, saya juga sudah dapat kesempatan meluaskan network keluar
Surabaya, terutama Jakarta.
Walaupun masih tinggal di Surabaya, saya mulai bisa jadi salah seorang ketua
AMA Pusat di Jakarta. Ini penting untuk menimbulkan National Image.
Masih ingat ketika Jawa Pos pasang billboard besar "Koran
Nasional yang Terbit dari Surabaya". Kata Dahlan Iskan, itu untuk
memberikan kebanggaan bagi orang Surabaya! Saya pun mencoba begitu.
Karena itu, memasuki tahun ketiga, tulisan-tulisan saya di kolom Rabu Jawa
Pos, mulai lebih banyak menulis tentang kasus-kasus marketing Jakarta.
Itulah usaha repositioning saya yang pertama setelah merasa
"lumayan kuat" di Surabaya dan Jawa Timur.
Bersamaan dengan repositioning Jawa Pos yang sudah makin kuat di
Surabaya dan Jawa Timur juga. Pelajarannya?
Anda harus meng-create persepsi, tapi harus berjuang untuk mewujudkan
persepsi itu jadi sebuah realitas. Supaya jangan cuma jadi persepsi kosong! (*)
No comments:
Post a Comment