ELEMEN ketiga di dimensi value di konsep
Marketing Plus 2000 adalah process. Juga elemen kesembilan di antara
semua elemen yang terbagi dalam dimensi strategy, tactic, dan value.
Mengapa process saya ''pasang'' di value bersama service
dan brand ? Sebab, tanpa perbaikan process, service tidak
bisa improved dan akhirnya akan berakibat pada brand image.
Terus terang, saya sangat terinspirasi oleh profesor-profesor dari Wharton
School of Management yang mengaitkan process dan service. Reengineering
process for customer service! Begitu maknanya kira-kira!
Bahkan, Philip Kotler pernah menanyakan kepada saya di Moscow pada 1998,
mengapa process ''masuk'' di marketing? Jawab saya
sederhana.Percuma saja punya strategi dan taktik yang bagus kalau tidak ada the
real value creation. Brand yang kuat, buat saya, tercipta kalau mental
service ada di seluruh perusahaan. Tapi, percuma saja kalau prosesnya tidak
in line dengan kedua hal tersebut.
Sedangkan, kalau prosesnya bagus, akan terjadi sebaliknya!
Tiga, new product development and commercialisation. Harus ada proses
yang bagus dalam menangkap peluang di pasar dan merealisasikannya. Dengan
mempunyai proses yang bagus dalam ketiga hal ini, akan terjadilah the real
value creation. Kata orang Jepang, itu yang disebut gemba! Tempat value
is created. Bisa di pabrik atau di pasar.
Jadi, yang saya maksud dengan proses memang dari hulu sampai hilir. Ada
permintaan, keluhan, atau peluang dari pasar yang arahnya dari down to
upstream. Arus baliknya adalah pemenuhan, penanganan, dan pengembangan
produk dari up to downstream. Untuk kedua arah tersebut haruslah ada
proses yang menjamin kualitas produk/servis (Q) baik, beaya (C) rendah, dan
tepat waktu (D).
Jadi, ringkasnya Q, C, dan D untuk mendukung service (S), juga sering
disebut QCDS untuk memperkuat brand. Bagaimana pergeserannya sesuai
dengan situasi persaingan?
Pada situasi 2,5 C atau monopoli, proses sekadar SOP (system operating
procedure). Orang-orang pabrik biasanya sangat ketat dalam menjalankan SOP.
Sebaliknya, orang penjualan punya SOP, tapi sering lupa karena terlalu
fleksibel. Mengapa?
Ya, karena di pabrik, semua pasti sedang di pasar hampir semua tidak pasti,
terutama kalau situasi persaingan sudah bergeser terus. Pada situasi 2,5 C atau
mild competition, process is interfunctional team work. Fungsi-fungsi
selalu bersifat silo dan vertikal bahwa orang hanya menurut kepada atasan.
Padahal, customer nggak ada urusan dengan fungsi-fungsi. Mereka
hanya tahu perusahaan secara utuh.
Karena itu, harus ada kerja sama antarfungsi yang bersifat horizontal dalam
proses melayani pelanggan. Di situasi 3 C, proses bukan hanya mengandalkan
kerja sama antarfungsi, tapi juga harus melakukan functional streamlining.
Tanpa adanya hal itu, tidak akan ada efisiensi.
Pada situasi 3,5 C, proses harus bersifat total delivery reengineering.
Seluruh proses dirombak total dengan mempertimbangkan automation, outsourcing,
insourcing, dan sebagainya. Dan, akhirnya, pada situasi yang ''berat'' 4 C,
proses menjadi extended value chain. Artinya, pembenahan proses harus
dilakukan bersama-sama dengan pihak ketiga, baik di upstream atau downstream.
Lihat bagaimana Toyota Astra Motor merancang Avanza dengan memperhatikan
peluang di pasar akan ''mobil MPV di bawah Rp 100 juta''. Selanjutnya melakukan
desain bersama Toyota Corporation Jepang dan bekerja sama dengan para supplier
di Indonesia.
Begitu juga, Ikea yang selalu ingin menurunkan harga sesuai dengan positioning
mereka value for money. Untuk bisa mencapai itu, Ikea mengajak kerja
sama para supplier-nya.
Contoh legendaris berskala dunia adalah bagaimana Wall Mart mengajak kerja sama
Procter and Gamble di Amerika untuk meniadakan stok dengan menjalankan ''just
in time'' system. Orang Jepang menyebut itu kanban! Bukan just
in case yang harus punya stok berlebihan supaya ada rasa safe. (*)
No comments:
Post a Comment